Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Filsafat: Eksperimen dalam Ide


Terdapat anggapan populer bahwa pikiran atau ide yang berbuah, adalah ide yang didasarkan pada eksperimen. Pikiran tanpa data dan hasil eksperimentasi adalah lamunan di awang-awang. Eksperimen merupakan dasar dari pikiran, bukan sebaliknya. Ini asumsi empirisme.

Namun, di sisi lain, terdapat anggapan bahwa segenap eksperimen sebenarnya lahir dari ide atau pikiran. Jadi, pikiran merupakan dasar dari eksperimentasi, bukan sebaliknya. Eksperimen tanpa pikiran cerdas di baliknya, sama seperti seorang buta yang ingin memahami warna. Ini asumsi rasionalisme.

Namun, benarkah pikiran dan eksperimentasi bertolak belakang?

Jika kita mengikuti cara bicara populer, maka eksperimentasi biasanya ditujukan pada metode ilmu alam atau ilmu empiris. Sementara pikiran atau ide biasanya ditujukan pada metode filosofis atau teologi. Jadi, secara metodologis, ilmu alam dan filsafat mempunyai metode yang berbeda, dengan objek yang berbeda. Ilmu empiris melakukan eksperimen terhadap fenomena alam, sementara filsafat dan teologi melakukan analisa terhadap ide atau wahyu.

Namun, secara subjektif, kedua-duanya sebenarnya berjalan dalam proses yang sama. Ilmuwan empiris mengamati realitas, membuat observasi dan membuat eksperimen yang mendatangkan hasil tertentu. Sementara itu, seorang filsuf mengamati realitas, membuat observasi, dan membuat sebentuk eksperimen dalam ide.

Karenanya, kita dapat katakan bahwa pikiran dan eksperimentasi merupakan dua proses subjektif yang tidak dapat dipisahkan. Berpikir sesungguhnya bereksperimen. Bereksperimen berarti berpikir. Konsepnya bisa dibedakan, namun prosesnya selalu bersama.

Manakala seorang ilmuwan membuat eksperimen, ia juga menyertai kecerdasan, pikiran dan ide yang dimilikinya. Hal inilah yang mendatangkan hasil berbeda, antara penelitian seorang ilmuwan cerdas seperti Marie Curie yang berhasil, misalnya, dengan ribuan mahasiswa atau ilmuwan lain yang membuat eksperimen dan ebservasi dengan tema yang sama, tanpa hasil.

Sementara itu, manakala seorang filsuf menggagaskan ide, maka idenya sebenarnya merupakan sebentuk eksperimentasi dalam pikiran. Apakah eksperimennya berhasil atau gagal, maka hal tersebut bergantung pada penerimaan publik dan proses sejarah.

Kebenaran dari kedua bentuk eksperimentasi tersebut diuji secara berbeda. Eksperimentasi ilmu alam, kebenarannya langsung dapat dibuktikan secara empiris. Jika Thomas Alfa Edison, misalnya, membuat berbagai eksperimen agar lampu menyala, maka kebenarannya bisa dipastikan sampai bola lampu menyala. Namun, kebenaran dari eksperimentasi pikiran, agak sulit ditentukan secara empiris. Ia hanya bisa diuji secara ideal, dengan argumentasi tandingan, berdasarkan akal sehat. Ide tentang demokrasi, misalnya, tidak bisa dibuktikan secara sekejab, melainkan terus menerus dimurnikan dan diuji dalam perjalanan waktu, dengan debat, juga dengan verifikasi tehadap realitas.

Karena itu, alat ukur dari ilmu empiris adalah fenomena empiris. Sementara alat ukur dari filsafat adalah nilai dan makna. Suatu eksperimen empiris berhasil, jika terdapat hasil dalam realitas empiris. Sebuah eksperimen filosofis berhasil, jika membuat hidup dan religiusitas menjadi lebih bermakna, damai dan manusiawi.Karena itu, alat ukur dari ilmu empiris adalah fenomena empiris. Sementara alat ukur dari filsafat adalah nilai dan makna. Suatu eksperimen empiris berhasil, jika terdapat hasil dalam realitas empiris. Sebuah eksperimen filosofis berhasil, jika membuat hidup dan religiusitas menjadi lebih bermakna, damai dan manusiawi.

Diantara pelbagai ide, eksperimen filosofis dan teologis yang bertebaran, maka serasa tidak ada gunanya menambah yang lain. Namun, suatu ide dan eksperimen, kiranya pertama-tama bukan bermaksud membentuk orang lain, namun terutama sebagai latihan dan sarana perkembangan diri.

Ingatan manusia pada dasarnya pendek. Ada banyak pikiran yang mungkin penting, namun segera dilupakan bersama waktu. Salah satu cara mengingat adalah mencatat. Catatan di media sosial mungkin akan dikoreksi dan diperkaya oleh yang lebih cerdas dan lebih bijak. Karena itu, menulis di media seperti ini sebenarnya suatu proses belajar, sekaligus bereksperimen dengan pikiran.

Posting Komentar untuk "Filsafat: Eksperimen dalam Ide"